Thursday 26 April 2012

Tanpa Tapi

Malam itu kami berempat berjalan di area pedestrian yang sangat lebar. Masih terlalu lebar, bahkan ketika kami jalan berempat beriringan.

“Gak nyangka ya, dulu jalan bareng gini paling di Ciseke Besar, beli makan di Gembul. Itu juga kalo kita jalan berjajar berempat gini pasti diklaksonin motor!” ujarku sambil tergelak.

Ketiga lelaki itu, dulu kalau berkumpul tema obrolannya tak jauh dari perempuan dan traveling. Sementara sekarang perbincangan kami mayoritas dipenuhi pekerjaan. Dua di antara mereka bekerja di majalah berita mingguan dengan desk hukum, politik, dan kriminal. Satunya lagi sedang mengikuti program MT di sebuah perusahaan leasing.

Dan (mungkin) dengan berat hati, mereka sudah harus melupakan rencana-rencana traveling yang dulu termasuk rutin mereka kerjakan. Sebutlah naik turun gunung, mengendarai motor dari Bandung sampai Pulau Bali, bahkan Lombok. Yang menarik adalah, mereka tidak keberatan dan sepenuhnya menerima konsekuensi pekerjaan mereka.

“Kalau mau liburan yang jauh, ya tunggu satu tahun lagi. Kalau kita sudah dapat cuti, baru lah berencana,” ujar salah satu dari mereka.

Salah satu dari mereka pula yang berkata, bahwa dalam hal apapun termasuk pekerjaan, kita harus bisa menerima kata “tapi”.

Thursday 12 April 2012

Divine "Colors" of Bali

Rabu (11/4) lalu, saya merasakan sekilas eksotisme Bali di tengah belantara ibukota.

Sejak pagi saya beranjak ke Bebek Bengil Menteng untuk menghadiri kind of architectural enlightenment yang diadakan salah satu produsen cat dekoratif bernama Dulux. Bincang-bincang yang dihadiri perwakilan beberapa media massa berkonsep home and living juga arsitek-arsitek muda ini mengambil tema “Divine Colors of Bali”. Ya, kali ini, Dulux mengambil nuansa Bali sebagai inspirasi desain.

Ngomong-ngomong tentang Bali, yang terlintas langsung private beach. Disusul night life, mystical culture, art space, idea and inspiration for writing. Tapi pembicara kali ini, Nyoman Popo Danes pendiri Danes Art Veranda dan Oka Saraswati Dosen Sejarah Arsitektur Universitas Udayana, menyajikan Bali dari sisi yang berbeda. Kekuatan arsitektur dan desain interiornya.

Popo Danes mengakui, Bali punya dua sisi. Yaitu sudut pandang masyarakat dari luar Bali dan sisi masyarakat Bali itu sendiri. Disusul komentarnya yang akan selalu saya ingat. “Perubahan Bali terlalu cepat sampai-sampai penduduknya tidak sempat mengantisipasi.” Maknanya sangat dalam. Tiba-tiba saya ingat kota asal saya yang juga telah banyak berubah.

Berbicara tentang warna, “All or Nothing” adalah kecenderungan arsitektur Bali. Jujur, kenangan tentang Bali sebenarnya gak terlalu banyak melekat, mengingat baru sekali ke sana dan tahun 1993 pula :( Tapi langsung kebayang ornamen Pura kaya warna yang saya lihat. Atau kain-kain pantai bermotif Bunga Kamboja warna-warni. Hahaha. Untungnya, kami diberi gambaran bangunan-bangunan Bali melalui slide para pembicara. Bahkan Mbak Oka menjelaskan, Bali mengenal istilah Dewata Nawa Sanga. Sembilan penguasa yang mewakili masing-masing arah mata angin ini diwakilkan oleh sembilan jenis warna. Yaitu hitam, biru, putih, pink, merah, jingga, kuning, hijau, dan pancawarna.

Dua jam seminar yang menyenangkan kemudian disusul oleh dua jam workshop. Saatnya bermain warna dengan cat-cat Dulux! Sebelumnya, dijelaskan rupa-rupa cat dan pengaplikasiannya. Para peserta diberi cat, roll cat, sarung tangan, kaca mata, kanvas, kuas cat beraneka ukuran, dan alat-alat lainnya. 




Kami ditantang untuk melukis menggunakan cat duco! To be honest, saya yang sejak cimit gak pernah dapet nilai memuaskan di kelas menggambar pun seketika jiper. Hahaha. Apalagi tema workshop lukis kali ini : Bali. Maksud hati gambar barong apa daya tangan tak terampil. Dan jadinya gambar ini deh. *hold your laugh*






But it was fun!  Feels like “Draw-Something-Artist” turns into Duco Painter! Haha. Dan seketika keinginan ke Bali makin membumbung tinggi. Thanks Dulux, such a fun forum! 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...