Wednesday, 13 October 2010

Pilihan.




Bagi perempuan itu, air mata berbicara sekian kali lebih lantang daripada kata-kata yang dapat keluar dari mulutnya. Tapi, apakah kelantangan yang berkali lipat dapat menjelaskan maksud yang ia ingin sampaikan?

Bagi sang lelaki, bentuk emosi seperti air mata dan kata-kata baru bisa ia produksi setelah mengonsumsi beberapa butir anti depresan dengan dosis yang sedikit dilebihkan. Tapi, apakah bentuk emosinya akan cukup membantu?

Aku sudah lama tidak menangis. Si perempuan berkata bahwa kepekaan diriku sudah hilang. Hm, benarkah? Aku tau, mereka sedang mengalami satu fase berat dalam hidup mereka, walau sebenarnya mungkin tidak seberat itu. Jahat? Ya, katakanlah aku jahat dan tidak peka. Tapi adakah yang bisa diselesaikan dengan menangis dan menenggak anti depresan yang semakin membuat mereka terlihat menyedihkan? Bahkan aku rasa mereka sebenarnya tidak sedepresi itu.

Mengapa tidak berfikir untuk segera menyelesaikan "satu-satunya" hal yang harus dilalui untuk mencapai pernikahan? Ya, si perempuan adalah temanku. ia dan pacarnya ingin segera menikah. Dan menurut mereka, satu-satunya syarat untuk mencapai pernikahan adalah lulus kuliah. Tapi toh kuliah mereka pun keteteran.

“Kamu produk masa kini yang terlalu matrealistis dalam memandang pernikahan!
Kamu terlalu sinis dalam teori kemapananmu. Percaya saja, rezeki itu akan mengikutimu!” ujar si lelaki sambil mendelik ke arah aku dan pasanganku.

“Mapan tidak selalu matrealistis. Menurutku, kemapanan yang harus dipersiapkan sebelum pernikahan itu menunjukan respek kita pada orangtua, lingkungan, dan anak yang kita miliki kelak. Memangnya kamu mau, menikah dengan tetap disokong orangtua, merepotkan lingkunganmu, dan menyiksa anakmu perlahan?”

“Oh, katakan saja kamu tidak ingin direpotkan jika kelak aku menikah dan kesulitan membeli susu anak!” ujar si lelaki. "Oh well. Who's the sarcastics now?" Ia melenguh tanpa mengatakan apa-apa. Si perempuan yang juga dalam pengaruh obat-obatan itu masih menangis dan mengais entah apa dalam serakan barang di kamarnya. Si lelaki meracau sambil blahbloh. Si perempuan menangis juga sambil blahbloh. Orangtua mana mau melepaskan anaknya menikah, bila kondisinya seperti ini?

“Masalahnya tidak sesederhana itu!” teriak si perempuan padaku.
“Jadi, serumit apa?”
“Kamu tidak mengerti!”
“Oke, try me.”
“No, you’ll never understand.”

Oke, anggaplah masalahmu sangat berat, dan tetaplah beranggapan bahwa orang-orang sepertimu, yang menyicipi lebih banyak kenakalan masa muda, itu adalah orang yang paling berpengalaman dan mengerti hidup. Mengapa mesti nyaman dengan kedepresian yang sebenarnya kamu buat-buat sendiri? Can’t you see your life in a different sight? Can’t you stop being cruel to yourself?

Ah, mungkin aku yang memang sudah tidak peka. Sebaiknya aku tinggalkan mereka, meskipun mereka berdua telah wangi, berbalut pakaian resmi, dan siap pergi. Yang benar saja, haruskan aku 'mengasuh' mereka di acara malam ini?

“Percayalah, pengalaman tidak bersumber dari kontemplasimu di bawah pengaruh anti depresan. Umurmu belum 20. Bila mengaku anti akademik, berbuatlah yang lebih hebat dari para akademisi itu, dan bahagiakanlah sahabatku.”

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...