Ada hal-hal yang tak ingin aku sampaikan. Hal yang hanya kuutarakan melalui raut wajahku, yang kuharap dapat kau baca melalui mataku.
Namaku Prameswari. Aku biasa dipanggil Ames. Pada awalnya kukira nama adalah doa yang bisa melanggengkan komplikasi masalahku tentang cinta. Mungkin iya, namun bukan saat ini.
Akhir-akhir ini aku merasa, kota ini terlalu sesak akan masa lalu. Ketidakmampuanku untuk berdamai dengannya menjadikan semua tampak terlalu melelahkan. Kau tahu? Imajinasiku terlalu liar hingga seringkali aku melihat sosok yang terlalu identik denganmu hadir di sudut mata. Yang sekejap menghilang saat kutolehkan muka.
You want to hug me? Aku bertanya padanya melalui tanganku yang menelentang, bersiap memeluknya.
“Jangan terus mencoba menambah kenangan di detik-detik terakhir ini, Prameswari. Banyak hal yang harus kau benahi.” Dia berkata tanpa melihatku. Seperti biasanya.
“Can’t you do it brotherly?” Well. Sebenarnya, aku tidak pernah meminta dipeluk kakakku dengan dentuman semerajalela ini di dada.
“Jangan mencoba terlalu keras, Mes. Aku harus pergi.”
Hal yang kuutarakan melalui raut wajahku, yang kuharap dapat kau baca melalui mataku, ternyata berlalu begitu saja. Tanpa makna. Bagaimana bisa makna tersampaikan jika kamu, memang tak pernah melihat wajahku.
Kamu terlalu abu-abu. Meninggalkan ketakutan yang selalu pekat pada diriku. Semua yang berhubungan dengan kamu, selalu blur. Dan aku tidak ingin lagi berdiri seolah-olah memilikimu padahal dalam kenyataannya, aku bukan siapa-siapa. That was almost a years, and I should not waiting for you anymore, Arda.
Bahkan belakangan aku berpikir, mungkin hanya aku yang merasakan keindahan itu. Ini kisah yang terlalu aku ingat. yang selalu aku ceritakan dengan semburat merah di pipi. Cerita yang sama, yang dengan mudah kau pinggirkan dari dalam hati.
Sekali lagi, nama saya Ames. You right. I’m a mess.
Namaku Prameswari. Aku biasa dipanggil Ames. Pada awalnya kukira nama adalah doa yang bisa melanggengkan komplikasi masalahku tentang cinta. Mungkin iya, namun bukan saat ini.
Akhir-akhir ini aku merasa, kota ini terlalu sesak akan masa lalu. Ketidakmampuanku untuk berdamai dengannya menjadikan semua tampak terlalu melelahkan. Kau tahu? Imajinasiku terlalu liar hingga seringkali aku melihat sosok yang terlalu identik denganmu hadir di sudut mata. Yang sekejap menghilang saat kutolehkan muka.
via (yanilavigne)
You want to hug me? Aku bertanya padanya melalui tanganku yang menelentang, bersiap memeluknya.
“Jangan terus mencoba menambah kenangan di detik-detik terakhir ini, Prameswari. Banyak hal yang harus kau benahi.” Dia berkata tanpa melihatku. Seperti biasanya.
“Can’t you do it brotherly?” Well. Sebenarnya, aku tidak pernah meminta dipeluk kakakku dengan dentuman semerajalela ini di dada.
“Jangan mencoba terlalu keras, Mes. Aku harus pergi.”
Hal yang kuutarakan melalui raut wajahku, yang kuharap dapat kau baca melalui mataku, ternyata berlalu begitu saja. Tanpa makna. Bagaimana bisa makna tersampaikan jika kamu, memang tak pernah melihat wajahku.
Kamu terlalu abu-abu. Meninggalkan ketakutan yang selalu pekat pada diriku. Semua yang berhubungan dengan kamu, selalu blur. Dan aku tidak ingin lagi berdiri seolah-olah memilikimu padahal dalam kenyataannya, aku bukan siapa-siapa. That was almost a years, and I should not waiting for you anymore, Arda.
Bahkan belakangan aku berpikir, mungkin hanya aku yang merasakan keindahan itu. Ini kisah yang terlalu aku ingat. yang selalu aku ceritakan dengan semburat merah di pipi. Cerita yang sama, yang dengan mudah kau pinggirkan dari dalam hati.
Sekali lagi, nama saya Ames. You right. I’m a mess.
No comments:
Post a Comment