Wednesday, 4 January 2012

The "M" Thing


It’s not them. It just me who take it too personal.

Saya melangkahkan kaki menuju tempat makan tempat kami akan bertemu. Tak seperti biasanya, kali ini tak sempat lagi memerhatikan suasana. Hati ini terlalu bergemuruh, rasanya. Mengingat momen berkumpul ini begitu istimewa dengan caranya sendiri.

Kami berlima akan berkumpul, masing-masing membawa pasangan serta buah hati mereka. Kecuali saya dan seorang teman lainnya. Teman yang di tengah perbincangan memberi kabar bahagia bahwa ia akan menikah tahun depan. I'm glad to know that, really. But frankly the whole situation seems a bit intimidating for me. For one particular reason.

**
via poppytalk

Tetiba saya ingat di kala lain, ketika berbicara empat mata bersama seorang sahabat yang telah menjadi ibu dari dua anak. Ekspresinya datar. Banyak yang ingin ia sampaikan, saya tahu. Namun entah apa yang membuatnya tetap menata hati dan seolah tak ingin diprediksi.

“Sekarang dia sudah berubah,” kabar baik itu keluar dari mulutnya tanpa ekspresi lega ataupun senang. “Tapi rasanya tidak ada yang bisa merubah. Kami sudah seharusnya berpisah,” tambahnya, sontak menghapus satu tanda tanya namun mendatangkan tanda tanya lainnya di kepala saya.

“Every single things which relate to marriage always irritating you, I know. But don’t be. Don’t choose me as an example. It’s totally a different thing,” ia berbicara sambil menyambar kotak rokok dan menyalakan batang pertamanya. Tak bisa berhenti, jawabnya ketika kutanya. Meski ia masih memegang amanat sebagai pemberi susu untuk anak keduanya yang masih bayi.

“Kau ingat, kan? Betapa muda umurku ketika akhirnya harus menikah. Janin tak bisa menunggu. Begitu pula ibu. Ia tak ingin cucunya hadir sebelum aku resmi mejadi istri orang. Tidak ada keterpaksaan dalam hal itu, karena ketika itu aku pun mencintai dia. Yang kemudian datang terpaksa adalah merelakan diri meninggalkan kehidupan yang sebelumnya penuh impian. Kami terpaksa menjalani kehidupan berumahtangga di usia yang masih sangat muda. Demi anak-anak. Kau, sudah lewat dari dua puluh lima. Enam tahun lebih matang dari ketika aku melahirkan anak pertamaku,” paparannya menyasar jantungku telak.

“Itulah yang kumaksud. Dulu aku tak punya pilihan. Kau, sekarang, bisa memilih hingga waktunya tepat. Bukan aku ingin membuatmu terburu-buru, aku hanya takut kau menjadi demikian skeptis pada pernikahan karena aku,” ia, untuk pertama kalinya, menolehkan muka padaku.

Aku, seketika merasa sangat egois. Dan kehilangan kata-kata.

Ateira Niskala
L'appartemant Side Story

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...