It’s not them. It just me who take it too personal.
Saya melangkahkan kaki menuju tempat makan tempat kami akan
bertemu. Tak seperti biasanya, kali ini tak sempat lagi memerhatikan suasana.
Hati ini terlalu bergemuruh, rasanya. Mengingat momen berkumpul ini begitu istimewa
dengan caranya sendiri.
Kami berlima akan berkumpul, masing-masing membawa pasangan
serta buah hati mereka. Kecuali saya dan seorang teman lainnya. Teman yang di tengah perbincangan memberi kabar bahagia bahwa ia akan menikah tahun depan. I'm glad to know that, really. But frankly the whole
situation seems a bit intimidating for me. For one particular reason.
**
via poppytalk |
Tetiba saya ingat di kala lain, ketika berbicara empat mata
bersama seorang sahabat yang telah menjadi ibu dari dua anak. Ekspresinya
datar. Banyak yang ingin ia sampaikan, saya tahu. Namun entah apa yang
membuatnya tetap menata hati dan seolah tak ingin diprediksi.
“Sekarang dia sudah berubah,” kabar baik itu keluar dari
mulutnya tanpa ekspresi lega ataupun senang. “Tapi rasanya tidak ada yang bisa
merubah. Kami sudah seharusnya berpisah,” tambahnya, sontak menghapus satu
tanda tanya namun mendatangkan tanda tanya lainnya di kepala saya.
“Every single things which relate to marriage always
irritating you, I know. But don’t be. Don’t choose me as an example. It’s totally
a different thing,” ia berbicara sambil menyambar kotak rokok dan menyalakan
batang pertamanya. Tak bisa berhenti, jawabnya ketika kutanya. Meski ia masih
memegang amanat sebagai pemberi susu untuk anak keduanya yang masih bayi.
“Kau ingat, kan? Betapa muda umurku ketika akhirnya harus
menikah. Janin tak bisa menunggu. Begitu pula ibu. Ia tak ingin cucunya hadir
sebelum aku resmi mejadi istri orang. Tidak ada keterpaksaan dalam hal itu,
karena ketika itu aku pun mencintai dia. Yang kemudian datang terpaksa adalah
merelakan diri meninggalkan kehidupan yang sebelumnya penuh impian. Kami
terpaksa menjalani kehidupan berumahtangga di usia yang masih sangat muda. Demi
anak-anak. Kau, sudah lewat dari dua puluh lima. Enam tahun lebih matang dari
ketika aku melahirkan anak pertamaku,” paparannya menyasar jantungku telak.
“Itulah yang kumaksud. Dulu aku tak punya pilihan. Kau,
sekarang, bisa memilih hingga waktunya tepat. Bukan aku ingin membuatmu
terburu-buru, aku hanya takut kau menjadi demikian skeptis pada pernikahan
karena aku,” ia, untuk pertama kalinya, menolehkan muka padaku.
Aku, seketika merasa sangat egois. Dan kehilangan kata-kata.
Ateira Niskala
L'appartemant Side Story
No comments:
Post a Comment