Thursday, 19 July 2012

Temu

This crowded road and that familiar ambience.

Kita bertemu. Di sebuah jalan yang biasa kita lewati. Kugandeng lengan Ken erat. Belakangan aku baru sadar bahwa itu terlampau erat. Sementara kau, kau imbangi langkah Kiv yang seketika berjalan tergesa. Kau dan aku, saling kikuk memaksa sapa.

Belum sebulan dan kita sudah berada di dunia yang berbeda. Aku dengan Ken yang tertatih mencoba saling mengenal, sementara kau dengan Kiv yang sempat mengisi hari-harimu dulu.

Bukankah ini aneh, Karl?



picture via scattered ashes

Dua bulan lalu kita masih berangkulan menyusuri Malioboro dan menyaksikan siklus matahari di Ratu Boko. Sebulan lalu kita masih menjadi penjelajah Kwitang mencari buku -yang kau bilang, begitu bersejarah karena menjadi pijak pemikiran-pemikiran eksentrik ayahmu.

Lalu kita pulang dan di sepanjang Cipularang itulah kita bertengkar hebat.

Karl, sudah kukatakan bahwa ini tidak akan mudah. Beruntunglah kau dibesarkan secara moderat. Sedangkan di luar sana, tak usahlah kau jauh-jauh melihat. Contohnya aku, aku yang hanya punya dua pilihan. Mengikuti keinginan orang tua untuk hidup bersama sosok yang memiliki agama dan suku persis sama denganku atau berontak sekalian hidup bersama pilihanku. Tanpa restu.

Berbeda dengan kau yang selalu memiliki energi lebih untuk pemberontakan, aku masih berharap kesepakatan yang sama-sama menguntungkan. Memang aku tak cukup berani mengambil risiko, karena kau tahu sebesar apa rasa sayangku pada ayah. Aku bersikeras menunggu hingga hatinya melunak dan merestui hubungan kita. Kau benar, aku tak punya cukup daya untuk pergi bersamamu ke sebuah tempat yang tak orang tahu.

*
“Negoisasiku menghasilkan tamparan. Negosiasimu kapan?” kau bertanya di kilometer 41, mengungkit kemurkaan ayah ketika suatu hari kau ajak bicara.

Itulah pelatuk yang memicu pertengkaran kita. Kau ingat? Jelas-jelas aku tak terima. Makian yang aku terima dari ayah, tetap membekas dan menghasilkan luka yang sama. Lalu kau tak lihat upayaku? Kau menawarkan menikah hanya dengan restu keluargamu dan jelas aku tak mau. Bagaimanapun, tawaran “memilih” ini jelas tak pernah aku jadikan jalan keluar.

Dalam emosi yang meletup-letup itulah, kita seperti menemukan jalan buntu. We don't see a light at the end of this tunnel. Beberapa meter mendekati rumahku, kau berkata bahwa hubungan kita tak akan bermuara di tempat yang kita inginkan, selama aku tak berusaha. Kau ingat ketika kau mengatakan itu? Aku. Tak. Berusaha. Seriously, Karl?

Pada akhirnya, seperti yang sering kita lihat pada film layar lebar. Perbedaan tak pernah menang. Dan kini aku yang harus bernegosiasi. Bukan dengan ayah, melainkan dengan perasaanku sendiri. Aku mencoba menerima sosok yang ibu pikir akan baik untukku. Di tengah kekecewaanku ini, tergesa-gesa aku memulai sebuah babak baru.

*
Setergesa-gesa itu pula, aku melempar senyum. Lalu memalingkan muka dan berjalan menjauh.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...