“Satu-satu aja kali, beresin dulu skripsi, baru bikin CV.”
Di antara kotak-demi-kotak Teh Kotak dan berbungkus Marlboro Black Menthol (yang sekarang mencium aromanya saja sudah bikin eneg), dia
bertanya.
Saat itu saya sedang tekun depan laptop demi CV si (calon) fresh
graduate ini menarik di mata HR.
“Gue gak punya waktu banyak,” jawab saya tanpa menoleh dari layar.
Saya paham benar saat itu, bahwa saya sudah terlambat. Saya
sudah ketinggalan. Kuliah selama 6,5 tahun tentu bukan prestasi. Ketika
teman-teman sudah merambah dunia kerja, wawancara untuk artikelnya yang akan
ditayangkan di media tempatnya menapaki karier, saya malah masih wawancara
untuk bahan skripsi.
Selama kuliah, memang fokus saya banyak terpecah. Dua tahun
terakhir kuliah saat orang-orang memulai proposal penelitian, saya malah bekerja untuk dua media lokal di Bandung, satu digital agency Jakarta yang berkantor
cabang di Bandung, dan satu komunitas musik indie di Bandung yang rutin membuat
event sebulan sekali (even once in a month, you know making proposal & meeting with client really takes a lot of time).
Tiga bulan sebelum target sidang, saya resign dari keempatnya.
Ternyata, meski kita sudah bekerja terlebih dulu, tapi selama kaki masih tersangkut,
tetap saja di atas kertas saya ketinggalan.
Dan saya tidak suka jauh
tertinggal.
Sebulan sebelum sidang skripsi, saya diterima di media
tempat saya bekerja, salah satu media perempuan dari grup media besar
di Indonesia.
Ada satu hal yang saya highlight hingga kini dari proses
interview pertama. Sesampainya di pool travel di Jakarta, saya menerabas hujan menuju
calon kantor. Segera menuju kamar mandi, mengeringkan rambut dan
pakaian dengan hand dryer, lalu masuk ke ruang wawancara.
Setengah kuyup.
Dan tiga hari setelah wisuda, tepatnya 14 November, saya hijrah
ke Jakarta dan mulai bekerja.
Ternyata itu sudah berlalu hampir lima tahun lalu.
Empat tahun tujuh bulan.
Tulisan itu tertera di surat resign saya.