Istilahnya tsunami informasi. Dan wajarlah membuat resah.
Bayangkan saja terpaan pesan mengenai sebuah gejala atau fenomena
yang begitu mudah menjalar. Ibaratnya bola salju, seiring ia bergulir, maka
semakin lama semakin membesar lah ia.
Begitu kira-kira gambaran mengenai era sosial media. Betapa sebuah
berita dapat dengan mudah bergulir dari satu tempat ke tempat lainnya “hanya”
dengan fasilitas tweet dan retweet atau share dan reshare. Betapa seseorang
disilaukan oleh informasi bombastis dan ingin menyegerakan diri berbagi
informasi itu kepada yang lain tanpa sempat mengecek ulang. Mumpung beritanya masih segar. Begitu
mungkin alasannya. Atau bisa juga memang tidak terlintas untuk mengecek kembali
informasi karena yang terpenting ya bombastisnya. Saking bombastisnya kadang dijadikan
kendaraan beberapa pihak untuk mencapai tujuan pribadi. Well yeah, everybody
needs drama.
Dan penyempitan dunia melalui jaringan internet ini lama-lama
memang tidak bisa tak membuat resah.
Orang-orang bebas menyampaikan apa saja tanpa pikir panjang. Tanpa harus merasa takut. Tanpa harus merasa bertanggung jawab. Maka hardik saja, caci-maki saja, berkata kotor saja, toh tak akan bertemu muka. Salah benar urusan belakangan.
Orang-orang bebas menyampaikan apa saja tanpa pikir panjang. Tanpa harus merasa takut. Tanpa harus merasa bertanggung jawab. Maka hardik saja, caci-maki saja, berkata kotor saja, toh tak akan bertemu muka. Salah benar urusan belakangan.
Akibatnya banyak yang menyampaikan informasi secara masif, tanpa
tedeng aling-aling, tanpa peduli kebenarannya. Yang penting menjadi terdepan.
Mengakibatkan banyak juga yang menelan mentah-mentah. Termakan segala berita yang
sangat mirip sinetron. Yang penting ada konflik, ada drama, bisa memancing
emosi. Beres.
Memuakan, ya?
Dalam elemen jurnalisme, sejak perkembangan teknologi informasi
khususnya internet, kini bertambah poin mengenai citizen journalism.
Namun selain poin mengenai masyarakat yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam pemberitaan terkait jurnalisme warga, hal yang harus kembali ditekankan adalah poin mengenai disiplin verifikasi. Ya memang dalam “Elements of Journalism” itu lebih dari sisi jurnalisnya sih, tapi sebagai pengonsumsi berita saya rasa juga perlu untuk tidak lantas terbuai oleh satu fakta yang dikemukakan saja. Apalagi kini pemberitaan juga sedikit-banyak mengambil perspektif khalayak.
Namun selain poin mengenai masyarakat yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam pemberitaan terkait jurnalisme warga, hal yang harus kembali ditekankan adalah poin mengenai disiplin verifikasi. Ya memang dalam “Elements of Journalism” itu lebih dari sisi jurnalisnya sih, tapi sebagai pengonsumsi berita saya rasa juga perlu untuk tidak lantas terbuai oleh satu fakta yang dikemukakan saja. Apalagi kini pemberitaan juga sedikit-banyak mengambil perspektif khalayak.
Jujur, saya belum baca buku barunya Kovach dan Rosenstiel yang berjudul
“Blur : How to Know What’s True
in the Age of Information Overload”. Tapi karena terdengar sangat
menarik, jadi beberapa kali browsing-browsing aja dan menemukan wawancara
dengan Tom Rosenstiel di sini.
Tertulis, “The real gap
in the twenty-first century is not between those who have access to the
Internet and those who don’t; it’s between those who have skills to navigate
the information, and those who are overwhelmed by it and escape that sense of
overwhelming by just going to the sources that make them feel comfortable, or
to points of view that are comforting and familiar.”
Bagian terakhir memang terdengar sulit. Kita terkadang menelan
mentah-mentah informasi yang keluar dari mulut orang/media terpercaya. Ketika
masuk ke (sebutlah) comfort zone, sikap skeptis kita seringkali hilang. Terjadi
juga pada saya, sih.
Dan errr, sebenernya saya gak berniat bikin postingan seserius ini :| (Secara ya blogger galau HAHAHA). Karena kalo diseriusin butuh riset
dan sumber terpercaya, ya? Hehehe. Cuma berandai, jika kita sedikit-banyak bisa
menjadi consious consumer of media,
mungkin forum-forum berita atau sosial media tidak akan dipenuhi pertengkaran
pro dan kontra dari khalayak tentang suatu isu. Sikap reaktif yang salah bisa lah dikurangi jika khalayak punya kemampuan self-filtering masing-masing. Capek juga kali ya ngumpat pihak lain sementara kita gak bisa ngapa-ngapain :p
CMIIW ya kawan, and pardon my sotoy-ness. Jika ada pandangan tentang
hal ini, boleh loh berbagi :D
"It’s between those who have skills to navigate the information, and those who are overwhelmed by it and escape that sense of overwhelming by just going to the sources that make them feel comfortable, or to points of view that are comforting and familiar."
ReplyDeleteGw percaya kalo jawabannya selalu ada di aktifitas literasi informasi (dan pembiasaan ttg hal itu untuk diterapkan oleh masy umum).. sebuah wacana yg sayangnya masih terlalu dianggap sepele oleh banyak orang :)
Setuju, Detta. Iya, intinya di literasi informasi. Dan gak harus lewat bangku formal kan ya, harusnya. *membayangkan serunya kelas lo kalo lagi bahas beginian* Hehehe
Delete