Sunday, 5 February 2012

Tsunami Informasi


Istilahnya tsunami informasi. Dan wajarlah membuat resah.

Bayangkan saja terpaan pesan mengenai sebuah gejala atau fenomena yang begitu mudah menjalar. Ibaratnya bola salju, seiring ia bergulir, maka semakin lama semakin membesar lah ia.

Begitu kira-kira gambaran mengenai era sosial media. Betapa sebuah berita dapat dengan mudah bergulir dari satu tempat ke tempat lainnya “hanya” dengan fasilitas tweet dan retweet atau share dan reshare. Betapa seseorang disilaukan oleh informasi bombastis dan ingin menyegerakan diri berbagi informasi itu kepada yang lain tanpa sempat mengecek ulang. Mumpung beritanya masih segar. Begitu mungkin alasannya. Atau bisa juga memang tidak terlintas untuk mengecek kembali informasi karena yang terpenting ya bombastisnya. Saking bombastisnya kadang dijadikan kendaraan beberapa pihak untuk mencapai tujuan pribadi. Well yeah, everybody needs drama.

Dan penyempitan dunia melalui jaringan internet ini lama-lama memang tidak bisa tak membuat resah.
Orang-orang bebas menyampaikan apa saja tanpa pikir panjang. Tanpa harus merasa takut. Tanpa harus merasa bertanggung jawab. Maka hardik saja, caci-maki saja, berkata kotor saja, toh tak akan bertemu muka. Salah benar urusan belakangan.

Akibatnya banyak yang menyampaikan informasi secara masif, tanpa tedeng aling-aling, tanpa peduli kebenarannya. Yang penting menjadi terdepan. Mengakibatkan banyak juga yang menelan mentah-mentah. Termakan segala berita yang sangat mirip sinetron. Yang penting ada konflik, ada drama, bisa memancing emosi. Beres.

Memuakan, ya?

Dalam elemen jurnalisme, sejak perkembangan teknologi informasi khususnya internet, kini bertambah poin mengenai citizen journalism.
Namun selain poin mengenai masyarakat yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam pemberitaan terkait jurnalisme warga, hal yang harus kembali ditekankan adalah poin mengenai disiplin verifikasi. Ya memang dalam “Elements of Journalism” itu lebih dari sisi jurnalisnya sih, tapi sebagai pengonsumsi berita saya rasa juga perlu untuk tidak lantas terbuai oleh satu fakta yang dikemukakan saja. Apalagi kini pemberitaan juga sedikit-banyak mengambil perspektif khalayak.

Jujur, saya belum baca buku barunya Kovach dan Rosenstiel yang berjudul “Blur : How to Know What’s True in the Age of Information Overload”. Tapi karena terdengar sangat menarik, jadi beberapa kali browsing-browsing aja dan menemukan wawancara dengan Tom Rosenstiel di sini.

Tertulis, “The real gap in the twenty-first century is not between those who have access to the Internet and those who don’t; it’s between those who have skills to navigate the information, and those who are overwhelmed by it and escape that sense of overwhelming by just going to the sources that make them feel comfortable, or to points of view that are comforting and familiar.”

Bagian terakhir memang terdengar sulit. Kita terkadang menelan mentah-mentah informasi yang keluar dari mulut orang/media terpercaya. Ketika masuk ke (sebutlah) comfort zone, sikap skeptis kita seringkali hilang. Terjadi juga pada saya, sih.

Dan errr, sebenernya saya gak berniat bikin postingan seserius ini :| (Secara ya blogger galau HAHAHA). Karena kalo diseriusin butuh riset dan sumber terpercaya, ya? Hehehe. Cuma berandai, jika kita sedikit-banyak bisa menjadi consious consumer of media, mungkin forum-forum berita atau sosial media tidak akan dipenuhi pertengkaran pro dan kontra dari khalayak tentang suatu isu. Sikap reaktif yang salah bisa lah dikurangi jika khalayak punya kemampuan self-filtering masing-masing. Capek juga kali ya ngumpat pihak lain sementara kita gak bisa ngapa-ngapain :p

CMIIW ya kawan, and pardon my sotoy-ness. Jika ada pandangan tentang hal ini, boleh loh berbagi :D

2 comments:

  1. "It’s between those who have skills to navigate the information, and those who are overwhelmed by it and escape that sense of overwhelming by just going to the sources that make them feel comfortable, or to points of view that are comforting and familiar."

    Gw percaya kalo jawabannya selalu ada di aktifitas literasi informasi (dan pembiasaan ttg hal itu untuk diterapkan oleh masy umum).. sebuah wacana yg sayangnya masih terlalu dianggap sepele oleh banyak orang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, Detta. Iya, intinya di literasi informasi. Dan gak harus lewat bangku formal kan ya, harusnya. *membayangkan serunya kelas lo kalo lagi bahas beginian* Hehehe

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...