Mengembarai taman ini butuh waktu, mungkin inilah yang harus aku lakukan selagi menunggu. Mari mulai langkah pertama. Hap! Jembatan kayu ini hangat, satu-satunya tempat yang disinari matahari. Mari meniti, menuju bagian lain taman yang mungkin menyimpan lebih banyak misteri. Aku berlari sambil sedikit melompat-lompat, mengikuti irama gesekan daun dan riakan air yang menjadi suara mayor. Rumput hijau yang terhampar di atas pohon-pohon rindang ini terus ku telusuri, sambil berdendang sumbang lagu bimbang.
Itulah Marry. Sementara aku adalah pohon maple tertua di taman ini yang pernah memimpin pergerakan agar kami mendapat lebih banyak sinar matahari. Ya, akulah yang diceritakan Neil Peart dalam “The Trees”! Memang terdengar menyalahi ekosistem, namun aku memperjuangkan hak agar pohon oak yang terlalu besar dan angkuh, tidak lagi memonopoli cahaya yang datang ke taman ini.
Apakah dia pun seperti aku? Hendak memperjuangkan kepemilikannya yang sempat terenggut? Marry mengambil tempat di bawah naunganku sambil menyelonjorkan kakinya ke sungai. Mungkin telah hilang tempatnya berpegang dan menyandarkan impian. Tapi…
"Aku memiliki satu janji yang membuatku senang. Aku punya harapan!"
Telingaku terjaga. Ah, belum ada suara. Mungkin dia sedang kesulitan menata sesuatu. Hmm, tak mungkinkah aku membantu? Di sini terlalu sepi. Rasanya aku lebih ingin menjadi mereka yang bisa menengok di jendelanya sewaktu-waktu, namun selalu bisa melunturkan ego, merangkulkan tawa, dan membuatnya tersenyum. Daripada membuatnya kesusahan harus menata sesuatu sebelum aku datang.
Aku ingin ucapan ‘selamat datang’ darinya tanpa beban.