Monday 25 July 2016

Rain, Interview, and In Between

foto by wallpoper

“Satu-satu aja kali, beresin dulu skripsi, baru bikin CV.”

Di antara kotak-demi-kotak Teh Kotak dan berbungkus Marlboro Black Menthol (yang sekarang mencium aromanya saja sudah bikin eneg), dia bertanya.

Saat itu saya sedang tekun depan laptop demi CV si (calon) fresh graduate ini menarik di mata HR. 

“Gue gak punya waktu banyak,” jawab saya tanpa menoleh dari layar.

Saya paham benar saat itu, bahwa saya sudah terlambat. Saya sudah ketinggalan. Kuliah selama 6,5 tahun tentu bukan prestasi. Ketika teman-teman sudah merambah dunia kerja, wawancara untuk artikelnya yang akan ditayangkan di media tempatnya menapaki karier, saya malah masih wawancara untuk bahan skripsi.

Selama kuliah, memang fokus saya banyak terpecah. Dua tahun terakhir kuliah saat orang-orang memulai proposal penelitian, saya malah bekerja untuk dua media lokal di Bandung, satu digital agency Jakarta yang berkantor cabang di Bandung, dan satu komunitas musik indie di Bandung yang rutin membuat event sebulan sekali (even once in a month, you know making proposal & meeting with client really takes a lot of time).

Tiga bulan sebelum target sidang, saya resign dari keempatnya. Ternyata, meski kita sudah bekerja terlebih dulu, tapi selama kaki masih tersangkut, tetap saja di atas kertas saya ketinggalan. 

Dan saya tidak suka jauh tertinggal.

Sebulan sebelum sidang skripsi, saya diterima di media tempat saya bekerja, salah satu media perempuan dari grup media besar di Indonesia.

Ada satu hal yang saya highlight hingga kini dari proses interview pertama. Sesampainya di pool travel di Jakarta, saya menerabas hujan menuju calon kantor. Segera menuju kamar mandi, mengeringkan rambut dan pakaian dengan hand dryer, lalu masuk ke ruang wawancara.

Setengah kuyup.

Dan tiga hari setelah wisuda, tepatnya 14 November, saya hijrah ke Jakarta dan mulai bekerja.

Ternyata itu sudah berlalu hampir lima tahun lalu.

Empat tahun tujuh bulan.

Tulisan itu tertera di surat resign saya.

Sunday 24 July 2016

Di Media Sosial, Kita Semua Hakim dan Polisi

Images from here

B
eberapa tahun lalu saat user Twitter baru menuju peak, saya pernah pasang bio We’re all judges. So there’s no need to become Twitter police I guess.

Lama saya tanggalkan status itu, rupanya memang keadaan tak berubah banyak. Mau sosial media bergerak cepat, berubah begini begitu, tetap aja kita enggak bisa nahan sikap judgemental di media sosial. No matter how hard we’re tying.

Yang paling hangat sih kasusnya Awkarin itu ya. Saya gak akan deh nulis tentang apa yang dia lakukan sampe netizen heboh banget beberapa waktu lalu.

Saya lebih tertarik merhatiin gimana netizen bereaksi. No, saya gak pake teori behavioral, budaya digital, psikologi perkembangan, ataupun feminisme di sini. Lebih ke mengingat masa lalu aja, karena pengalaman itu lebih penting bukan? *alasan*

Saya sempat nonton video dia yang hype itu. Jujur, saya gak kuat sih nonton sampai akhir. Malu sendiri! Lol. Nonton video yang ada malah salah tingkah hahaha. Tapi akhirnya saya simpulkan, oh memang saya bukan target segmentasi dia kok. Begitupun sebaliknya.

Dan sempat agak gimana gitu lihat orang begitu sedihnya sama hubungan yang baru dia jalin kurang dari setahun, sampai "menjatuhkan diri sendiri". Tapi kemudian sadar, saya gak adil.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...