Hey, S. Apa kabarmu?
Sempat aku diam-diam melontarkan harapan konyol di dalam
hati. Yang ternyata sekarang dikabulkan. Dan alih-alih senang, aku merasa
menjadi orang yang luar biasa egois.
Di tengah harapanku yang terkabul, aku tak tahu kau di sana
merasa senang atau tidak. Sulit sekali rupanya saling menyisihkan waktu untuk
kita bisa bercengkrama. Kau menjadi demikian tertutup.
Sejak awal sebenarnya aku tidak setuju kau beranjak ke
tempat itu. Terlalu apatis aku terhadapnya. Namun, yah, siapalah aku? Ada yang
lebih berhak menentukan jalan hidupmu. Aku? Tak punya sedikit pun kuasa untuk
menentukannya.
Baru-baru ini kudengar kau mendapat hukuman. Yang menurutku
sangat keterlaluan. Masalahnya bukan pada hukuman fisik yang memang jelas
terlihat di mana. Namun hukuman lain yang ku tahu sangat menampar amarahmu. Tak
perlu waktu lama, aku menyadari ada hal lain yang mengubahmu.
S, Aku tak ingin kau mengulang kesalahanku dan baru bisa berdamai
hampir lima tahun kemudian.
Aku teringat sepuluh tahun lalu ketika berada di posisimu. Aku
merasakan himpitan di kanan dan kiri, memilih untuk lebih sering menyendiri. Keadaan
yang sulit, aku tahu. Maka ingin rasanya berada di sana dan mendampingimu. Aku
akan mengerti. Apa daya, S.
Aku tahu, aku pun menginginkan yang kau inginkan saat ini. Dan
aku telah membuat sebuah langkah untukmu, yang mungkin kau tak sadari. Namun aku
sudah melihat, sedikit-banyak ternyata itu membekas. Semoga kita bisa, S. Kau,
terutama, semoga kau tak akan berbelok terlalu jauh dalam menjalani ini.
Anggaplah, itu sebagian kecil, hal pertama, yang kulakukan untuk menebus
dosaku.
Dan S, lalu kau memberiku pelajaran. Jangan lagi bermain-main
dengan harapan.