My life at this age is very
different yet the same from the one I imagined. Maybe the same direction, with
a different method. Which is a good thing.
*It’ll be a very long post.
Tidak disarankan untuk teman-teman yang masih memiliki ambisi meluap-luap. Or
else, you’ll die yawning with eyes rolling. LOL.
Usia 30 yang saya bayangkan
10 tahun lalu, enggak jauh dari kesan steady life. Semua udah stabil, tinggal
melakukan rutinitas karena semua kerja keras dilakukan di kepala dua. So we
just need to continue the earnings, to pay the bills and entertain ourselves.
Oh, I’m so naïve.
Mau usia berapapun, setiap
orang punya perjuangan sendiri-sendiri. Jadi inget dulu kalau lihat orangtua
saya. Mereka yang saya jadikan tolak ukur karena jelas-jelas terlihat setiap
hari. Bagaimana mereka struggling membesarkan anak, melakukan hobi, sambil
menjalin hubungan baik dengan teman dan saudara.
Dari mata saya sebagai anak,
semua terlihat smooth dan baik-baik saja. Meski seperti remaja pada umumnya,
sebagai anak saya pasti susah diatur dan sering bikin senewen. Mungkin saya
adalah salah satu cobaan fase hidup mereka. Bukan mungkin ding, pasti!
Belakangan saya sadar, mereka
yang dari luar terlihat baik-baik saja dan stabil, bukan berarti memang stabil
secara finansial dan karier. Bukan karena hidup mereka mudah. Melainkan, mereka
lebih stabil menjaga emosi. Memilih menyelesaikan masalah dan tidak menunjukkan
kepada orang lain yang jelas-jelas nothing to do with it.
Setelah saya dinilai cukup
dewasa sama orangtua (tepatnya dianggap sudah bisa mencerna masalah dengan
utuh), satu per satu perjuangan mereka pun diungkap. Saya yakin ini bukan untuk
mengharapkan balas budi, tapi sebagai pembelajaran.
Saya pribadi juga mulai
menyadari sih, memasuki usia 30 beberapa hari lalu, banyak hal yang berubah.
Dari semua perubahan, hal
yang meleset dari bayangan dan enggak pernah saya prediksi adalah ketika saya
menjadi sosok yang 10 tahun lalu saya pikir klise. Hahaha.
Ini makin berasa ketika
ngobrol sama temen kantor yang usianya terpaut hampir 10 tahun dari saya. Yes,
sepuluh tahun. Early 20s. Muda dan bergelora. Ketika mereka minta saran, tips,
share pengalaman, saya mulai sadar: Gila, gue klise! Perlu bukti? Ini beberapa
hal yang dulu saya anggap klise dan nonsense, tapi sekarang justru saya amini.
Cliché number 1
Memilih Pasangan
Memilih Pasangan
Jadi teman kantor pernah
bertanya, “Apa sih yang bikin lo yakin nikah sama suami lo?” Usia dia 21 by the
way.
Dulu saya pikir kita akan
punya beribu alasan sakral dan bisa dijelaskan ketika memilih menikah dengan
seseorang.
Tapi, yang keluar dari mulut
saya cuma, “Pertama sih yakinin dulu lo sendiri siap untuk nikah. Itu malah
fase tersulit dan paling time consuming buat gue. Selanjutnya, pilih pasangan
yang lo pikir bisa handle lo, dan bisa lo handle balik semua kekurangannya. Tiba-tiba lo akan berasa klik aja. Yakin.”
Kemudian, awkward moment. Dari ekspresinya,
kayaknya dia masih nunggu tips lain dari saya tapi saya cuma ketawa. “Gila,
klise ya? Hahahaha I’m that old!” Dan dia pun balik ketawa. Ketawa
maklum.
Akhirnya saya tambahin, di
usia dia, saya lebih menyarankan to tastes as many as you could, karena saya pun
dulu enggak begitu aja percaya apa yang disaranin orang lain. Intinya, maknai
apa yang pernah kita lalui aja. Mana yang paling sesuai sama kita. Yes, I’m
that old omagah!
Cliché number 2
Perihal Rezeki
Perihal Rezeki
Asli. For those who knows
me, bakal tahu banget kalau saya bukan tipe orang yang menganut paham “Hajar
aja, rezeki ada yang atur”. Itu bukan saya banget. Karena sama seperti yang
saya anut di pekerjaan, numbers don’t lie. Semua harus dihitung dan
direncanakan.
Dari awal kerja sebagai
fresh grad, saya udah apply reksadana. Sejak kuliah, saya kerja dan hobi
menabung. Bukan apa-apa, saya cuma takut mengalami fase Rp0 di dompet maupun
ATM dan takut enggak bisa liburan, beli sesuatu, atau lainnya ketika saya lagi
pengen. Saya terhitung pelit buat satu hal, demi bisa menyisihkan bujet buat
hal lain yang memang saya suka. Istilahnya, budget conscious.
Sampai beberapa bulan lalu
ketika saya mulai berencana memiliki properti pertama. Hitung penghasilan
bareng suami, atur budget, tiap hari buka situs simulasi KPR, sambil nabung
dikit-dikit.
Kemudian saya menemukan
kalimat yang dulu pasti saya lepeh mentah-mentah. “Jangan lupakan matematika
Tuhan yang enggak bisa kita pahami.” Kalimat itu juga sering disebut
orang-orang yang dekat dengan saya, sih, dulu. Tapi mungkin sebelumnya saya
belum mengalami. Kemudian saya inget-inget apa yang udah dilalui dan
kejadian yang saya alami beberapa waktu ke belakang, bikin saya mulai paham
maksudnya.
Dan, seminggu lalu seorang
teman, laki-laki, lagi mau mulai menabung untuk persiapan pernikahan dan nanya
budget yang harus dia punya.
Tiba-tiba kalimat itu keluar
dong. “This may be so cliché, tapi asal lo ada persiapan dan niat baik, pasti
ada aja kok yang memudahkan.” Setelah pencet enter di messenger, saya ketawa
sendiri. Anjrittt. Two years ago version of me would laugh so hard to this shallow answer!
But. Coming from me, yang
dia tahu dulu sangat skeptis masalah keuangan, syukurnya dia jadi percaya. Ha
ha ha. Eh tapi bukan berarti terus main gas tanpa persiapan, ya. Persiapan
finansial itu selalu penting. Pelajari masalah investasi, pahami pengeluaran
bulanan, dan disiplin lihat keluar masuk anggaran itu tetap harus dilakukan.
Tapi akan ada perhitungan-perhitungan lain yang enggak bisa kita prediksi.
Cliché number 3
Definisi Sukses
Definisi Sukses
Ketika baru lulus, saya
punya target jadi Editor In Chief sebelum usia 35. Itu sekitar 6
tahun lalu. After this and that, entah kenapa saya jadi bingung mendefinisikan
sukses. Karena tahun lalu saya sampai di fase merasa stuck secara pribadi,
meski secara karier masih baik-baik saja.
Menjelang 30, saya ternyata
masih ingin belajar banyak hal. Malah mengambil keputusan yang lumayan gede di
pertengahan usia 29 dengan pindah kerja. Keputusan yang enggak pernah kebayang, karena sebelumnya saya cari aman banget perihal karier. Apalagi,
ada tawaran yang lumayan oke di tempat kerja saya yang lama. But I must
decline.
Istilah “aman” dan “sukses”
ternyata juga udah berubah buat saya. Dan sempat bergurau dengan seorang teman,
kayaknya sekarang sebisa mungkin dapat benefit maksimal dengan responsibility
minimal, in the name of work-life balance. Cih. Sok banget. Hahaha.
Tapi buat yang satu ini,
saya enggak pernah sarankan ke rekan kerja yang berusia di awal 20. We must
push our limits as a first jobbers. Karena penilaian dan pembuktian kita atas
diri sendiri berawal di sana.
Cliché number 4
Aktualisasi Diri
Aktualisasi Diri
Udah dibilang kan di atas
kalau meyakinkan diri sendiri untuk menikah adalah hal paling time-consuming
buat saya. Alasan utama adalah karena saya takut ruang buat aktualisasi diri
terhambat. Saya enggak mau dikenal sebagai sosok yang melekat ke orang lain.
Saya ingin dikenal sebagai diri sendiri, berdiri sendiri, memiliki kuasa atas diri sendiri, memilih pilihan berdasakan kebutuhan sendiri, dan lain-lainnya sendiri. Termasuk, menyalahkan diri sendiri ketika ada hal berjalan tidak sesuai dengan yang saya inginkan.
Saya ingin dikenal sebagai diri sendiri, berdiri sendiri, memiliki kuasa atas diri sendiri, memilih pilihan berdasakan kebutuhan sendiri, dan lain-lainnya sendiri. Termasuk, menyalahkan diri sendiri ketika ada hal berjalan tidak sesuai dengan yang saya inginkan.
Dulu, saya takut banget
bakal blaming pasangan atau anak akan kegagalan yang saya hadapi. Padahal,
dijalanin aja belum. Ya, namanya manusia. Dan sebagai Capricorn, perempuan,
saya katanya emang dari sananya selalu dihantui rasa takut akan kegagalan.
Karena keinginan saya yang
satu ini agak sulit dibantah, maka saya memilih pasangan memang yang sejalan
dalam hal ini. Dan bersyukur setelah menikah memang merasa enggak banyak
berubah.
Sampai-sampai saya bingung,
bagian aktualisasi diri mana yah yang dulu bikin saya khawatir? Antara saya udah enggak terlalu mengejar
aktualisasi diri di lingkungan sosial atau memang pasangan saya yang selalu
mendorong saya melakukan apa yang bikin saya bahagia. And again, I feel so old
LOLLLL.
But, really. What I learn
about live to the fullest adalah kalimat klise bahwa instead of impress others,
I choose to focusing on satisfy myself and bring happiness to those who matter
the most.
Dan ini menunjukkan
perubahan persepsi kali ya. Dulu, jujur aja saya melihat aktualisasi diri itu
bagaimana kita diposisikan di lingkungan. Sekarang, malah lebih kepada gimana
saya pribadi feel content dengan apa yang dijalani.
Maslow himself memang bilang
self actualization sebagai pemenuhan kepuasan seseorang atas apa yang dia
butuhkan. Kepuasannya untuk diri sendiri, tapi bisa dari mana saja. Dan
itu bebas sih. Kita bisa bahagia atas banyak hal, bisa ketika kita meraih
status tertentu, bisa juga karena kita merasa berkecukupan dengan apa yang dimiliki.
Enggak mau bohong, dulu
kebahagiaan saya memang mayoritas bersumber dari pengakuan orang. Sekarang,
masih lah ya, tapi berasa banget porsinya udah mengecil. I turn to be that
cliché yang bilang kalau kebahagiaan itu ketika kita bisa puas dengan apa yang
kita lakukan dan dapatkan. Meski orang lain enggak tahu.
Dan untuk yang satu ini,
saya tahu enggak bisa diucapkan di obrolan makan siang sama rekan-rekan kerja
yang mostly 20-something. Karena kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri di
lingkungan sosial saat usia itu memang tinggi dan sangat wajar.
Tergantung setiap orang
memutuskan when to stop and when to still searching.
----
Saya pernah berseloroh, saya akan berhenti menghitung umur di angka 25. Suatu malam di akhir usia itu saya masih sangat denial dan meyakinkan diri bahwa besok, saya akan berusia 25B, not 26. And turns out, it became the rocky road in my life. Banyak hal, termasuk perubahan pikiran, yang saya alami di fase 5 tahun terakhir.
But knowing that I’ve got to this point with my own choices give a huge satisfaction to myself. Because I know I earned it, with big help from my family, friends, and loved ones, who always support and pray for me. It didn’t just happen by accident.
Dipikir-pikir, postingan ini positif sekali ya! Hahaha. Masih, masih banyak kegelisahan dan aneka what if di kepala. Sama halnya dengan the-not-knowing part di masa depan yang masih bikin saya resah. Belum kok, belum se-"namaste" itu. Hahaha. Tapi ada saat-saat yang memang perlu disyukuri, salah satunya dalam memasuki dekade baru ini.
And here I am. 30 years old, being cliché and simplify my complicated mind. Happy birthday to me!
Super sekali~ alhamdulillah yah kamu melaluinya dengan positif. Semoga seterusnya. Amiin~
ReplyDelete