Sunday 24 July 2016

Di Media Sosial, Kita Semua Hakim dan Polisi

Images from here

B
eberapa tahun lalu saat user Twitter baru menuju peak, saya pernah pasang bio We’re all judges. So there’s no need to become Twitter police I guess.

Lama saya tanggalkan status itu, rupanya memang keadaan tak berubah banyak. Mau sosial media bergerak cepat, berubah begini begitu, tetap aja kita enggak bisa nahan sikap judgemental di media sosial. No matter how hard we’re tying.

Yang paling hangat sih kasusnya Awkarin itu ya. Saya gak akan deh nulis tentang apa yang dia lakukan sampe netizen heboh banget beberapa waktu lalu.

Saya lebih tertarik merhatiin gimana netizen bereaksi. No, saya gak pake teori behavioral, budaya digital, psikologi perkembangan, ataupun feminisme di sini. Lebih ke mengingat masa lalu aja, karena pengalaman itu lebih penting bukan? *alasan*

Saya sempat nonton video dia yang hype itu. Jujur, saya gak kuat sih nonton sampai akhir. Malu sendiri! Lol. Nonton video yang ada malah salah tingkah hahaha. Tapi akhirnya saya simpulkan, oh memang saya bukan target segmentasi dia kok. Begitupun sebaliknya.

Dan sempat agak gimana gitu lihat orang begitu sedihnya sama hubungan yang baru dia jalin kurang dari setahun, sampai "menjatuhkan diri sendiri". Tapi kemudian sadar, saya gak adil.

Kemudian lihat tanggapan orang-orang: Bikin meme, komentarin moralnya, komentarin harga diri dia sebagai perempuan, komentarin gaya hidupnya yang sedemikian bebas makanya cowok-cowok pun gak ada yang mau berhubungan serius (OH PLEASE), komentarin oh betapa lebaynya putus sama cowok...

Saya juga melakukan yang sama dengan netizen itu karena sempat punya judgement sendiri tentang dia:

“Caper bet minta disayang lingkungan dengan playing victim.”
"Waktu gw SMA kayaknya gak sedangkal itu deh mandang hubungan pacaran.”
“Baru SMA juga, apa sih yang diseriusin dari hubungan SMA. Bukannya just for fun?"

Dan saya menyesal. Saya sadar udah egois banget dan sombong. Dan gak adil sama manusia *halah*. Dan hasil stalking-stalking Awkarin, nginget-nginget masa lalu, saya sampai di simpulan ini:

Ternyata... Fase orang kan berbeda

Iya, saya menyesal. Karena kemudian saya sadar bahwa setiap orang punya fase yang berbeda. Saya juga sempet lah, satu kali mengalami putus yang lumayan bikin mewek-mewek. 

Dan dari situ malah saya belajar banyak dan menjadi pribadi yang lebih stabil. Dan waktu lagi mewek pun saya sadar, someday i’ll laugh about this, but then again, saat itu ya cuma butuh nangis dan bersedih-sedih. Gak apa-apa, nangis aja sampai puas biar bener-bener lega. Daripada sok kuat tapi terus susah move on dan hidup susah maju karena kaki masih kesangkut di masa lalu?

Dan ketika saya sempat membandingkan diri saya dengan Awkarin, saya sadar itu gak adil. Karena ya fase yang berbeda itu. Mungkin waktu SMA saya pacaran just for fun, karena patah hati pertama, literally pertama, itu cinta monyet sewaktu SMP (yang sekarang dipikir-pikir gak penting banget lol), itu sama juga 6 bulan pacaran.

Nangisnya karena memang bingung ternyata gini ya rasanya putus, terus dua tahun ke depan masih di sekolah yang sama gimana kalau dia duluan dapet pacar daripada gue? Hahaha, dangkal! Dan patah hati yang udah agak serius itu pas kuliah.

Gimana kalau Awkarin ternyata mengalami fase saya pas SMP or kuliah justru di SMA ini?

Ternyata...  “Menjadi Tua” memang jadi judgemental

Kalau dia masih deketin pacarnya padahal udah putus?

Saya rasa banyak yang melakukan hal serupa. Saya pun, pernah kok. Kalau dilihat di sisi lain, justru dia berani melakukan apa yang dia mau. Apa yang ingin dia perjuangkan. Atau yang biasa saya alami sih, puas-puasin dulu aja biar lega.

Sekali lagi, we know someday we’ll laugh about it. Tapi itu someday. Apa yang bisa dilakukan saat ini? Puas-puasin aja dulu~

Ironis sih saat ada orang bilang “Lo harus berani ungkapin apa yang lo rasakan ke cowok!” tapi hujat si Awkarin, ini kayaknya udah tebang pilih, yah?

Atau mungkin enggak tebang pilih. Mungkin yang ngomong gitu juga punya batasan sendiri versi dia. Karena dia punya pengalaman sendiri. Tapi mungkin Karin belum punya pengalaman itu. Dan mungkin Karin akan tahu batasan itu kelak ketika dia sudah bisa memetik pelajaran dari apa yang ia alami.

OMG I’M OLD!

Kita sering berkomentar ke remaja, harusnya gini, harusnya gitu. Jangan gini dong tengsin, gengsi, dll. Tapi kita suka gengsi juga buat melihat ke masa lalu, apa saja yang sudah kita lalui.

Untuk yang melihat ke masa lalu ini penting banget loh. Saya sering sekali pamit sejenak dari masa kini buat mengingat apa saja yang sudah saya lalui di masa lalu. Dan memang, banyak keputusan dan sikap yang saya lakukan di masa kini adalah hasil sesuatu yang terjadi di masa lalu.

Sekali lagi, lupakan masalah Youtubenya. Karena itu sih cuma efek perubahan teknologi. 

Gak usah bilang gak habis pikir, karena memang susah dimengerti. Generasinya beda. Tapi gini deh... Saya membandingkan Vlog ini dengan Blog. Zaman blog belum pada berbayar kayak sekarang, blog itu kan juga sering diisi ratapan orang baru putus. Mungkin sialnya, si Karin ini followersnya banyak. 

Jangan salah sangka, bukan berarti saya support video dia kemarin. Saya sendiri sih gak akan melakukan kayak gitu, karena memang bukan buat saya dan gak saya banget aja. Saya cuma berusaha memahami, karena gak mau terjebak jadi orang judgemental :p

Dan kalau boleh ngejudge, orang yang gak banyak mengalami itu lebih mudah ngejudge. All right this is my biggest judgement I've done today :))))

Ternyata... Pengalaman itu pelajaran terbaik bukan?

Cliche but true. Apa yang udah kita lewatin itu berkontribusi banyak banget sama sosok kita di masa kini. Dalam hidup, saya tipe orang yang lebih percaya pengalaman ketimbang teori. Waktu lagi remaja, kalau lagi gundah atau mellow, saya lebih milih ngobrol ketimbang baca-baca artikel tips. Lebih milih belajar dari pengalaman ketimbang simpulan orang.

Karena saya mikir masalah orang itu unik. Beda-beda. Satu kasus, masalah putus cinta doang, gak bisa dikasih satu tips yang sama. Maka dari zaman remaja saya selalu mikir kalau artikel-artikel pengembangan diri itu klise.

Sampe waktu remaja, kalau ada temen yang naif, komentar saya "Sinetron banget sih lo" atau "Majalah banget sih lo" (Kemudian beberapa tahun setelahnya kerja di media massa yang nulisin artikel tips lol).

Kalaupun baca tentang tema pengembangan diri, saya lebih suka kolom opini atau artikel sosok. Karena kita bisa lihat dulu latar belakang orangnya dan menyesuaikan artikel dia dengan pengalaman yang udah dia lewati.

Nah, jadi balik ke Awkarin, saya sih percaya masalah ini bisa menjadi pelajaran hidup buat dia. Misalnya, pelajaran bahwa semakin bertambah umur, kita akan semakin tertutup tentang diri kita.

Akan semakin bisa mengelola emosi. Akan semakin pilih-pilih saat cerita. Salah satu alasannya karena kita tahu, kalau gak deket-deket banget, orang yang nanya kadang gak bener-bener peduli. Mostly butuh pembenaran buat diri mereka merasa lebih baik. Atau: Mereka, kepo aja :p

Ternyata... Jadi remaja itu memang (masih) sulit

Yang dulu saya alami juga, menjadi remaja itu memang sulit. Awkarin secara akademis pinter, kreatif banget karena semua media sosial dia juga terkonsep, pinter tapi juga udah bisa ngehasilin uang sendiri. Tapi, orang malah enggak peduli sama sebanyak apa prestasi yang kita raih. Orang akan lebih seneng mengomentari gejolak hormon remaja kita.

Orang akan lebih seneng berkomentar tentang hal-hal yang dinilai “norak” dan melupakan hal positif lainnya. Misalnya, tentang gaya hidup dia yang katanya "gak sesuai usia". Well, she's 19 tho ;) Punya uang sendiri pun. Bayar sendiri loh dia untuk semuanya, bahkan rumah! *iri*

Atau, tentang quotes dia yang "We dont need goals, we are the goals" (bener gak sih kalimatnya gitu? Intinya itu deh) Ketika orang mikir bahwa dia sangat narsis dan mau ngajak orang-orang menjadikan dia #goals, mengikuti gaya hidup dia, saya kok malah mikir dia sedang mengajak orang mengapresiasi dirinya masing-masing yah? Bukannya itu positif?

Atau mungkin saya yang kurang ngerti konteks kalimat itu?

Gak tahu ya, kalau buat saya, semakin banyak yang dilewati saat remaja itu penting banget. Abisin semua penasaran. Mau itu hal baik atau buruk akan sangat penting buat perkembangan diri ke depannya. Iya, I hear you, asal tahu batas. Dan batas ini sangat relatif kan. Apapun batasannya, asal memang dimaknai ya proses hidupnya, bukan cuma diumbar.

--

Tapi ya memang judging itu gak bisa dihindari, ya? Isu-isu di media sosial juga bikin kritis dengan nyinyir (bully) jadi sangat tipis bedanya.

Mungkin itu yang membuat beberapa orang termasuk saya, mulai menahan komentarin apapun yang terjadi di media sosial. Karena khawatir dampaknya. Bukan cuma dampak sosial, tapi juga dampak ke diri sendiri.

Karena seringkali, kita disajikan begitu banyak isu yang tempting. Kita juga sering lupa bahwa sosok di media sosial itu semuanya manusia. Mentang-mentang jauh dan gak pernah ketemu, maka bisa komentar sebebasnya dan kadang keluar konteks. Maka kita bisa ngebahas dan menjadikan dia itu objek.

---

Sebenernya tulisan ini udah beberapa hari lalu dibuat. Nah tapi per hari ini karena saya resmi pengangguran seminggu ke depan, rencananya akan buat postingan blog sehari satu *yea right*

Sekaligus membiasakan diri lagi, bahwa blogging itu gak harus nyiapin bahan-bahan serius. Ketik aja apa yang ada di pikiran. At least, biasain lagi deh nyampah-nyampah di sini ;) 

1 comment:

  1. belajar dari pengalaman, lebih milih ngobrol sama orang daripada baca artikel tips, yes yes setuju..

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...