Tak berapa blok dari apartemen, hujan deras mengguyur Bandung. Aku selalu membenci hujan. Ada hal-hal yang tak perlu aku ingat, yang dengan sulit aku kebumikan di palung paling dalam, namun dapat menyeruak begitu saja hanya oleh hujan. Hanya karena tetesan air yang bisa membuatmu basah! Cih, konyol.
Seperti biasa, hari Kamis adalah jadwalku mampir di “Bliss Flowery”, florist kecil-kecilan yang kubuat. Aku memesan fresh flower tipe Freesia berwarna fuschia untuk hari Minggu pada pegawaiku. Berharap bunga ini bisa menambah semarak perjamuan makan malam Moammar Emka, eh, Moammar Prisa, Muardi, eh, ahh, kebiasaanku sulit mengingat nama. Bunga yang berarti persahabatan dan kepercayaan ini diambil dari nama seorang botanist, Friedrich Heinrich Theodor Freese.
Aku mendekati pojokan favoritku dan menyalakan sebatang rokok. Memandangi pekarangan dengan bunga-bunga indah yang mengelilingi bangunan mungil tempatku berdiri. Oh ya, ehem, bangunan warm-minimalis ini adalah karya Musa…
via (ache)
***
“Sendiri?” Ia bertanya. Ah, lelaki jaman sekarang masih saja suka basa-basi.
“Ya,” aku malas berbicara dengan stranger. Walaupun penampilan lelaki berrahang keras ini demikian meyakinkan dengan setelah jas body fit abu-abu tua. Lelaki ini, adalah salah satu arsitek muda yang mengkurasi rancangan yang dipamerkan tadi.
“Bawa kendaraan?” Tanyanya lagi. “Bawa,” ujarku ketus. “Sebentar lagi gelap. Saya antar sampai parkiran. Payung ini besar sekali. Cukup untuk kita,” tawarnya. Memaksa. Setahuku satpam di sini selalu beroperasi hingga malam hari. Jadi… “Boleh.”
Perjalanan dari aula hingga parkiran, entah mengapa membuat aku demikian percaya padanya. Sampai kami memutuskan menghangatkan diri di sebuah cafĂ©. Balik memaksa, aku mengajaknya ke “Frost”, coffee shop yang menurutku pilihan kopinya cukup lengkap dan bagus. Tidak seperti tempat lain yang memasang istilah “coffee shop” padahal sajian utamanya sofa empuk dan wi-fi.
***
Di tempat itulah aku saat ini. Frost, tanpa Musa dan Spring Vegetable Omelete juga Hot Dripped Coffee Toraja yang biasa dia pesan. Bukannya sengaja mengopek luka yang belum kering, tapi ada bagian dari dalam diriku yang mengajakku ke sini. Melaksanakan kalimat yang kuikrarkan beberapa hari lalu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bagaimana tidak? Ketika hujan dan semua sudut di Bandung ini mengingatkanmu akan masa lalu, sepertinya benteng yang kau buat kian retak, tinggal menunggu kapan ambruk.
Aku menyalakan laptop, hendak mengirim beberapa email.
“Tei! Sudah lama sekali tidak ke sini! Saya selalu menengok ke pojokan ini dan berharap ada kamu dan Musa. Kangen sama duet kalian menyanyikan lagu-lagu indie-pop setiap malam Rabu. Eh, sudah pesan? Saya buatkan Ice dripped coffe, ya?” Iben, pelayan ngondek yang biasa digoda Musa, mendekat ke arahku dan nyerocos tanpa aku bisa klarifikasi tentang hubunganku.
“Tidak usah, Ben… Aku udah pesan,” jawabku.
Panjang umur Musa. Ada satu surel dan ini benar-benar dari Musa.
Tei, apa kabarmu? Sebulan sudah kita tidak bertukar kabar. Aku telah melewati masa-masa sulitku, dan berharap kau pun. Menelusuri jalanan Bandung, selalu menjadi rutinitas yang membuat dadaku serasa disumbat kelapa. Dengan serabut yang keluar, mencabik dadaku dengan halus namun pahit. Tapi semua itu telah (maksudku, harus) berlalu.
Tadinya aku ingin menyampaikan kabar ini secara langsung, tapi si Mbok bilang kau pindah dan aku tak tahu alamat barumu. Intinya... Aku, sedang mempersiapkan pernikahanku dengan Kalila. Mungkin terdengar terburu-buru, tapi kau tahu aku. Kau tahu apa yang kuinginkan dalam waktu dekat ini. Ayah semakin tua, penyakit pun terus menggerogotinya. Dia ingin menggendong bayi sebelum ajal menjemput.. Datanglah, aku telah memperjuangkan kedatanganmu dan bertengkar dengan Kalila. Aku ingin kau datang.
Bang-sat. MENIKAH??? Ohh Musa.
Tergesa aku membereskan barang-barangku. Kupacu kendaraan untuk pulang. Pandanganku berbayang. Hujan masih deras, bahkan ketika aku sampai di parkiran apartemen. Aku membuka pintu, merasakan bulir hujan mulai membasahi sepatu, kaki, celana pendek, dan blouse kesayanganku. Juga rambutku.
Begini, ya, rasanya menangis di bawah hujan… Bulir hangat menyusuri pipiku. Satu, dua, tiga, dan tak terhitung lagi. Rasanya aku tak mampu melangkah. Mengapa kaki berukuran 35 ini tiba-tiba terasa berat? Aku menyelosorkan badan, memasrahkan diriku di bawah guyuran air. Tersungkur, tertunduk.
"Biarkan aku dengan kesendirianku. Mereguk racun yang kuseduh sendiri. Biarkan aku mengetuk pintu dan menyadari bahwa tak ada sesiapa untuk berbagi sendu. Ternyata memang bukan di sini," batinku. Segera, aku berniat mengepak barang dan pergi entah ke mana.
Deras hujan seketika berhenti. Hanya di atas kepalaku. Aku melongok dan menemukan sesosok lelaki berpayung besar berdiri di depanku, kemudian berjongkok dan memegang daguku.
“Setahuku apartemen ini tidak pernah kehabisan air. Untuk apa kau membasahi dirimu di sini? Naiklah, ku antar kau ke kamarmu.” Pandanganku masih berbayang ketika ia bertanya, “lantai berapa?”
Ateira Niskala
l’appartemant 1501
*nikmati cerita dari seluruh penghuni Apartemen Seguni di sini)
No comments:
Post a Comment