Wednesday 7 July 2010

uncomfortable silence

Malam ini, kami menyanyikan lagu yang berbeda. Ironic milik Alanis Morissette keluar dari mulut Rasti yang sedang khusyuk memandang kegelapan di balik kaca jendela. Bertabrakan dengan I Don’t Know What I Can Save You From yang aku nyanyikan setengah hati. Ya, kali ini, kami menyanyi sendiri-sendiri.

Apa yang tak bisa kau lakukan jika ingin merayakan kepedihan? Menunjukkan ketidakpedulian sepertinya merupakan hal yang terbilang mudah dan wajar, dibanding melakukan hal yang lebih menyeramkan. Walaupun ingin sekali aku menunjukkan kekesalan dengan menginjak pedal gas dalam-dalam dan membawa kendali mobil ini sampai kecepatan di atas 100 km/jam di jalanan tengah kota. Agar Rasti ketakutan dan menolehkan sedikit kepalanya beberapa derajat ke arah kanan. Ke arahku. Agar yang bertabrakan tidak hanya nyanyian kami. Sekalian saja tabrakkan mobil ini ke bunderan di depan sana.

Kabut kekesalan ini entah sejak kapan datangnya. Kapan datangnya, seberapa tebal, aku tidak peduli. Yang pasti, cukup membuat matahari di antara kami redup. Matahari memang biasanya mengajak kami bernyanyi sepanjang jalan. Lagu yang sama. Berselang dengan obrolan ringan maupun berat, juga beberapa canda yang berakhir dengan cubitan kecil Rasti di lenganku.

Keajaiban-keajaiban kecil kami sepertinya sudah hilang. Nyanyian yang berbeda inilah buktinya.

Ajakan obrolan yang setengah jam lalu kami lontarkan, hanya berujung dengan jawaban singkat. Lalu, apa yang kau harapkan? Ataukah kau sama bingungnya dengan aku? Kukira aku hanya ingin kesunyian dan kesendirian. Tetapi bukan yang seperti ini.

Ironic. It’s like ten thousand spoons when all you need is a knife. and I don’t know what I can save you from.

Tangan kami bertemu tak sengaja pada pengontrol AC. Ragu aku menolehkan muka ke arahnya, ketika kulihat dia pun menolehkan muka ke arahku. Tak sampai sedetik, kami kembalikan tolehan ke titik semula sambil membuka kaca mobil. Dia dan luar jendela, aku dan jalanan besar ibu kota. Lalu aku meraih kotak rokok di dekat rem tangan ketika dia sedang merogoh sesuatu di dalam tas.

Klik. Bersamaan, kami menyalakan lighter masing-masing. Menghirup, menoleh, dan menghembuskan rokok sambil tertawa.

Aku merutuki diriku yang sempat pesimis bahwa keajaiban kecil itu telah hilang. Tidak, dia masih ada bersama kami. Rasti, aku, dan keajaiban kecil kami, kini kembali bernyanyi lagu yang sama.

Percayalah hati lebih dari ini pernah kita lalui. Takkan lagi kita mesti jauh melangkah, nikmatilah lara. Percayalah hati lebih dari ini pernah kita lalui. Jangan henti disini. (Sementara – Float)


***
"Don't you hate that?" tanya Rasti, yang langsung kuketahui apa maksudnya.

"Uncomfortable silence."

1 comment:

  1. setuju gw, uncomfortable silence itu emang uncomfort. *lah?

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...