pic from here
Kami pernah begitu dekat.
Aku ingat beberapa tahun lalu, ketika derai tawa kami
diakhiri dengan kelentang kaleng bir yang dilempar bersamaan menuju lembah di
sebuah kawasan Dago Atas. Selalu seperti itu kami mengakhiri pertemuan. Dan aku
selalu kalah jauh dalam melempar. Aku selalu kalah, termasuk kalah jauh dalam
melempar sepotong cerita yang harus segera ditinggalkan.
Pertemuan di tepi lembah itu dilakukan berdasarkan
kesepakatan. Ia begitupun aku, sedang membayar janji. Janji yang dilontarkan
tak sengaja ketika berjam-jam kami berbalas kalimat melalui messenger. Dan
jadilah, persinggahannya ke kotaku dihiasi dengan pertemuan di tepi lembah dan
diakhiri lemparan kalengnya yang selalu lebih jauh.
Disusul dengan hari ini. Dalam rangka kunjunganku ke kotanya
untuk urusan pekerjaan, kami bertemu. Bedanya ada pada pemandangan yang melingkupi serta
kebiasaan kami mengakhiri pertemuan. Tak lagi berada di lembah, melainkan
ketinggian gedung yang menghamparkan citylight dari bangunan-bangunan tinggi menjulang.
Dan tidak melemparkan kaleng, hanya memastikan minuman kami tandas.
"Jadi, ada cerita baru apa yang terjadi padamu selain tentang pekerjaan?” tanyanya. Intimidatif.
“Hanya itu. Memangnya, apa yang kau harapkan?”
“Kubikel itu kini menjadi pasanganmu, eh? That’s sucks.”
“You think it sucks? Not for me. That cubicle and every single thing in it are my remedies.”
“Bullshit.”
“Hahaha, Pardon me if your job not as enjoyable as mine. It’s your loss,”
“You are living a lonely world, admit it.”
--
Dan seketika, di tengah alunan musik yang sayup, di lantai sembilan belas dengan hamparan kerlip lampu gedung tinggi…
"Jadi, ada cerita baru apa yang terjadi padamu selain tentang pekerjaan?” tanyanya. Intimidatif.
“Hanya itu. Memangnya, apa yang kau harapkan?”
“Kubikel itu kini menjadi pasanganmu, eh? That’s sucks.”
“You think it sucks? Not for me. That cubicle and every single thing in it are my remedies.”
“Bullshit.”
“Hahaha, Pardon me if your job not as enjoyable as mine. It’s your loss,”
“You are living a lonely world, admit it.”
--
Dan seketika, di tengah alunan musik yang sayup, di lantai sembilan belas dengan hamparan kerlip lampu gedung tinggi…
Pikiranku riuh.