Monday 20 January 2014

Cubicle

pic from here
Kami pernah begitu dekat.

Aku ingat beberapa tahun lalu, ketika derai tawa kami diakhiri dengan kelentang kaleng bir yang dilempar bersamaan menuju lembah di sebuah kawasan Dago Atas. Selalu seperti itu kami mengakhiri pertemuan. Dan aku selalu kalah jauh dalam melempar. Aku selalu kalah, termasuk kalah jauh dalam melempar sepotong cerita yang harus segera ditinggalkan.

Pertemuan di tepi lembah itu dilakukan berdasarkan kesepakatan. Ia begitupun aku, sedang membayar janji. Janji yang dilontarkan tak sengaja ketika berjam-jam kami berbalas kalimat melalui messenger. Dan jadilah, persinggahannya ke kotaku dihiasi dengan pertemuan di tepi lembah dan diakhiri lemparan kalengnya yang selalu lebih jauh.

Disusul dengan hari ini. Dalam rangka kunjunganku ke kotanya untuk urusan pekerjaan, kami bertemu. Bedanya ada pada pemandangan yang melingkupi serta kebiasaan kami mengakhiri pertemuan. Tak lagi berada di lembah, melainkan ketinggian gedung yang menghamparkan citylight dari bangunan-bangunan tinggi menjulang. Dan tidak melemparkan kaleng, hanya memastikan minuman kami tandas.

"Jadi, ada cerita baru apa yang terjadi padamu selain tentang pekerjaan?” tanyanya. Intimidatif.

“Hanya itu. Memangnya, apa yang kau harapkan?”

“Kubikel itu kini menjadi pasanganmu, eh? That’s sucks.”

“You think it sucks? Not for me. That cubicle and every single thing in it are my remedies.”

“Bullshit.”

“Hahaha, Pardon me if your job not as enjoyable as mine. It’s your loss,”

“You are living a lonely world, admit it.”

--

Dan seketika, di tengah alunan musik yang sayup, di lantai sembilan belas dengan hamparan kerlip lampu gedung tinggi…

Pikiranku riuh.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...