Apakah kau tentram di sana?
Aku masih menyayangkan keputusanmu untuk pergi dari kota ini. Jujur saja, aku tetap memiliki keyakinan, ada bagian dari kota ini yang sangat membutuhkanmu. Suatu hari nanti ketika rasa sakit hatimu pulih, cobalah tengok kemari. Tengok sejenak saja jika memang kau tak berencana kembali.
Seperti yang pernah kau katakan, kota ini semakin sesak. Kami para penduduk terlalu memikirkan masa kini. Tak mampir sepertinya ingatan bahwa kelak, anak cucu kami akan menetap dan membutuhkan banyak hal dari sini. Kami terlalu arogan, terlalu lapar mata dan kalap menikmati sumber daya yang diberikan alam.
Sejak sore, bahkan sejak beberapa hari lalu, hujan deras mengguyur sebagian Kota dan Kabupaten Bandung. Tak usahlah kau tanya komentarku. Aku yang memang tidak suka hujan pasti semakin menggerutu. Ketika waktu beraktivitasku tertunda, persediaan celana panjang habis karena semua basah, ditambah cucian yang apek. Anak tetanggaku yang baru berumur 6 bulan, hampir seminggu kehilangan waktu berjemur. Pagi hari gerimis, mendung, atau hujan sekalian. Kami rindu sinar matahari.
Barusan di perjalanan pulang, aku melihat seorang ayah mengendarai motor di tengah hujan deras sambil memegangi anaknya yang masih balita. Tanpa jas hujan, tanpa alas kaki. Pun aku melihat, seorang ibu yang menggendong bayinya, kuyup terkena cipratan banjir dari kendaraan yang melintas. Kemudian bapak tua itu tak henti berusaha menyalakan motornya yang mogok akibat terendam banjir. Memilukan. Andai saja kau lihat.
Tak cukup di situ, luapan air menerjang permukiman saudara kami, penduduk Kecamatan Bale Endah, Dayeuh Kolot, dan Bojong Soang Kabupaten Bandung. Ratusan penduduk di daerah langganan banjir mengungsi, akibat hujan yang tak kunjung berhenti. Banjir sampai sedalam 2 meter ditambah endapan lumpur, menjadikan kegiatan belajar di beberapa sekolah keteteran. Banyak buku terseret entah kemana, ditambah meja bangku terendam dan jadi tak layak guna.
Apa kau kira mereka tidak merasa kecewa? Aku pikir mereka sama. Namun mereka menerima dan bertahan. Mengamati rumahnya dari kejauhan, berdoa, berupaya, dan berharap suatu hari akan ada perubahan. Perubahan, atau sebutlah keajaiban.
Sementara aku? Kau? Kita masih diberi kenyamanan. Mengenyahkan kisut keriput di bawah selimut. Memanjakan diri sembari menyeduh kopi.
Maka, kau, tak bisakah kembali? Aku mengerti. Sulit percaya bahwa akhirnya kau harus serahkan rumah peninggalan buyutmu itu. Peninggalan buyut kita. Menyerah pada kontraktor bengis dan membiarkan semua kenangan disulap akibat imbas modernisasi.
Tapi kenangan itu disimpan dalam hati.
Pulanglah. Aku, bagian kecil dari kota ini, semakin membutuhkanmu.
"Pulanglah. Aku, bagian kecil dari kota ini, semakin membutuhkanmu."
ReplyDeletegrr... andai itu yang diucapkan-nyaaaa..
hupf
hehehe... andai siapa Ein yang bilang? :D
ReplyDeleteitu aku tulis buat kamu tau :p
huoooo...
ReplyDeleteiya kaaaah???
*blushing...
dikasi jempol sejuta deh, eh ga semilyar, eh masi bisa lebih lagi, setrilyun..
ahahaha..
hhihiih,, siapa lagi nel,, tp spertinya ga pernah disebutkan olehnya,, huhu
thankyu nelkuh.. :*
oh, yayaya :) mungkin dia ngerasa hal yang sama, cuma belum diucapkan :D semangat ein! :DDD
ReplyDeletebagus... inspiring.
ReplyDelete