Monday, 19 July 2010

the tightest circle in our lives

Di sela-sela kegiatan menyetir sepulang beraktivitas, di antara antrian panjang mobil di setiap perempatan, saya terbiasa dengan ketukan-ketukan familiar yang tiba-tiba hinggap di kepala saya. Suatu pemandangan mengakibatkan sebuah pandangan subjektif yang kemudian dikaitkan dengan pengalaman lain sehingga menimbulkan suatu pemikiran.

Salah satunya, konsepsi mengenai keluarga.

Saya adalah salah satu manusia yang sulit membendung haru ketika melihat adegan tentang hubungan sebuah keluarga di film maupun novel. Film terakhir yang bikin saya trenyuh adalah "3 Hati 2 Dunia 1 Cinta", ketika sang ayah berkorban untuk merelakan anaknya memilih apa yang diinginkan. Sementara buku terakhir adalah "9 dari Nadira" dari Laila S. Chudori yang memang bercerita tentang rumitnya sebuah keluarga dengan intrik kakak dan adik.

Bukan karena keluarga saya tidak sempurna, justru karena saya selalu kesulitan untuk menunjukkan rasa terima kasih atas kesempurnaan keluarga yang saya miliki. Sulit menyampaikan perasaan sayang, permintaan maaf, ungkapan terima kasih. Kenapa, ya?

But I always hope they know how much I love them, how thankfull I am, without saying it upfront.

*ditulis di sela-sela macet beberapa hari lalu

Monday, 12 July 2010

Drip-drop Teardrop

Byurrr!

Tak berapa blok dari apartemen, hujan deras mengguyur Bandung. Aku selalu membenci hujan. Ada hal-hal yang tak perlu aku ingat, yang dengan sulit aku kebumikan di palung paling dalam, namun dapat menyeruak begitu saja hanya oleh hujan. Hanya karena tetesan air yang bisa membuatmu basah! Cih, konyol.

Seperti biasa, hari Kamis adalah jadwalku mampir di “Bliss Flo
wery”, florist kecil-kecilan yang kubuat. Aku memesan fresh flower tipe Freesia berwarna fuschia untuk hari Minggu pada pegawaiku. Berharap bunga ini bisa menambah semarak perjamuan makan malam Moammar Emka, eh, Moammar Prisa, Muardi, eh, ahh, kebiasaanku sulit mengingat nama. Bunga yang berarti persahabatan dan kepercayaan ini diambil dari nama seorang botanist, Friedrich Heinrich Theodor Freese.
Aku mendekati pojokan favoritku dan menyalakan sebatang rokok. Memandangi pekarangan dengan bunga-bunga indah yang mengelilingi bangunan mungil tempatku berdiri. Oh ya, ehem, bangunan warm-minimalis ini adalah karya Musa…

via (ache)

***
Kami bertemu untuk pertama kali ketika Bandung sedang diguyur hujan, usai pameran yang diadakan mahasiswa tingkat akhir jurusan sebelah beberapa tahun lalu. Aku menunggu hujan sedikit mereda di depan aula yang kian melengang.
“Sendiri?” Ia bertanya. Ah, lelaki jaman sekarang masih saja suka basa-basi.

Wednesday, 7 July 2010

uncomfortable silence

Malam ini, kami menyanyikan lagu yang berbeda. Ironic milik Alanis Morissette keluar dari mulut Rasti yang sedang khusyuk memandang kegelapan di balik kaca jendela. Bertabrakan dengan I Don’t Know What I Can Save You From yang aku nyanyikan setengah hati. Ya, kali ini, kami menyanyi sendiri-sendiri.

Apa yang tak bisa kau lakukan jika ingin merayakan kepedihan? Menunjukkan ketidakpedulian sepertinya merupakan hal yang terbilang mudah dan wajar, dibanding melakukan hal yang lebih menyeramkan. Walaupun ingin sekali aku menunjukkan kekesalan dengan menginjak pedal gas dalam-dalam dan membawa kendali mobil ini sampai kecepatan di atas 100 km/jam di jalanan tengah kota. Agar Rasti ketakutan dan menolehkan sedikit kepalanya beberapa derajat ke arah kanan. Ke arahku. Agar yang bertabrakan tidak hanya nyanyian kami. Sekalian saja tabrakkan mobil ini ke bunderan di depan sana.

Kabut kekesalan ini entah sejak kapan datangnya. Kapan datangnya, seberapa tebal, aku tidak peduli. Yang pasti, cukup membuat matahari di antara kami redup. Matahari memang biasanya mengajak kami bernyanyi sepanjang jalan. Lagu yang sama. Berselang dengan obrolan ringan maupun berat, juga beberapa canda yang berakhir dengan cubitan kecil Rasti di lenganku.

Keajaiban-keajaiban kecil kami sepertinya sudah hilang. Nyanyian yang berbeda inilah buktinya.

Monday, 5 July 2010

l'appartemant 1501

Berapa harga yang harus kau bayar untuk sebuah cita-cita?

Menjadi perempuan yang bekerja untuk kebutuhan dirinya, bisa jadi hal yang membanggakan. Apalagi jika pengetahuan dan daya nalarnya berada setidaknya tepat pada garis rata-rata. Tapi apa yang dicari dari semua itu? Hal tersebut mengusikku karena pembicaraan di yahoo messenger tadi siang. Habislah aku dibego-begoi seorang sarjana hukum yang baru beres yudisium dengan peringkat sangat memuaskan tapi sama sekali tidak tahu pasal apa saja yang dikenakan untuk menjerat Ariel.

Segelintir orang memang percaya bahwa pasangan yang mapan merupakan modal awal untuk menikah. Kira-kira, berapa perempuan rela meninggalkan pekerjaannya demi lelaki mapan yang sangat dicintai? Ahhh, jangan bilang aku sendirian yang bodoh di dunia ini. Ya, aku meninggalkan lelaki yang kucintai demi pekerjaanku yang masih dalam impian. Cih, ketika melafalkan kalimat tadi, aku baru sadar bahwa sepertinya aku adalah perempuan terbodoh di dunia! Untuk apa kulakukan itu, he? Sudah merasa hebat, apa?

Aku masih bermain dengan pikiran-pikiran sendiri ketika kuhempaskan tubuh ke atas kasur dan membenamkan kepalaku di bawah bantal. Sejauh aku membaca teenlit sebagai bahan reviewku untuk sebuah majalah remaja, beginilah cara si tokoh utama menangis. Aku ikuti saja. Lagipula malu jika terdengar kamar sebelah. Kemungkinannya dua, aku disebut uber-pathetic atau disangka makhluk beda dunia. Syukur-syukur dia sudah tidur. Beda dengan penghuni kamar seberang lift sana yang baru pulang sekitar pukul 04.00 sambil setengah mabuk dan menggenjreng gitar tak bernada.

“Kebahagiaan seperti apa sebenarnya yang kamu cari?” bisikku lirih. Bersamaan dengan air mata pertama yang turun malam ini.

Jika dipikir-pikir, mengapa aku bisa menolak lamaran Musa hanya karena ingin tetap bekerja setelah menikah nanti. Padahal Musa sang arsitek muda yang tergabung dengan Artsicraft Group dan punya banyak klien kakap pasti mampu membiayai kehidupanku lebih dari cukup. But still, the idea of being jobless in a life after wedding sama sekali tidak terlintas di pikiranku.

Di tengah kegulitaan kamar yang baru kutempati sejak dua pekan lalu, aku membuka laci terbawah lemari dan mengeluarkan sebuah foto.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...